Penjelasan Hadits Rukun Islam (2)
Kalimat kedua, yaitu persaksian ‘محمد رسول الله’, Muhammad bin ‘Abdullah adalah utusan Allah
Persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah berkonsekuensi:
- Membenarkan segala sesuatu yang dikabarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kebenaran berita yang dibawa Rasulullah tidak lain karena mendasarkan pada wahyu Allah ‘Azza wa Jalla. Membenarkan berita yang Rasulullah bawa tidak disyaratkan harus mengetahui hikmah perkataannya terlebih dahulu. Tahu ataupun tidak, kita wajib membenarkannya. Sebab, sekali lagi, itu tidak lain adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.Dia berfirman (QS An-Najm: 5), “Dia tidak berucap berdasarkan hawa nafsunya. Akan tetapi itu semata-mata wahyu saja”
- Melaksanakan perintah-perintah Rasulullah ﷺ, tanpa ragu-ragu. Allah berfirman (QS Al-Ahzab: 36),
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
Suaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah: 27), “Oleh karena itu saya katakan, termasuk kesalahan apa yang dikatakan sebagian orang jika ada suatu perintah dari Allah dan Rasul-Nya, terlebih dahulu mempertanyakan, ‘Apakah perintah itu hukumnya wajib atau sunnah?’ Dewasa ini banyak orang yang mempertanyakannya. Seyogyanya soal seperti ini wajib dihindari dan tidak ditimbulkan. Alasannya karena apa bila para shahabat –radhiyallahu ‘anhum– jika mendapat titah dari Rasulullah, mereka tidak mempertanyakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah perintah itu hukumnya wajib, sunnah, atau apa?’ Akan tetapi mereka melaksanakan dan membenarkannya tanpa mempertanyakannya. Kita katakan, ‘Anda tidak usah bertanya. Laksanakanlah saja. Anda bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka laksanakanlah apa yang menjadi titahnya!’
Akan tetapi pada kesempatan tertentu, apabila ada seseorang yang mengalami suatu masalah dan menyelisihi perintah, dalam keadaan seperti ini ia berhak bertanya, apakah perintah yang diselisihinya itu hukumnya wajib ataukah tidak. Karena jika wajib, tentu wajib atasnya bertaubat darinya mengingat dia telah melanggar. Namun jika hukumnya bukan wajib, maka urusannya ringan.”
- Menjauhi apa yang menjadi larangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tanpa ada keraguan sedikit pun dengan tidak mengatakan bahwa larangan tersebut tidak ada dalam Al-Quran. Jika ada orang yang masih nekat mengatakan seperti itu, tentu kebinasaan agan segera menyapanya. Alasannya sudah jelas, bahwa apa yang terdapat dalam Sunnah, Al-Quran pun memerintahkan agar diikuti, dan memang keduanya sama-sama wahyu. Tidak ada bedanya sama sekali.Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah mengingatkan hal semacam ini. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لا ألفين أحدكم على أريكته ياتيه الأمر من عندي فيقول ما أدري ، ما كان في كتاب الله اتبعناه
“Sungguh akan datang seorang di antara kalian bersandar di atas kursi, jika datang padanya perintah dariku lantas ia beralasan, ‘Aku tidak tahu. Itu tidak ada dalam Kitab Allah yang kami ikuti.’”,
Al-‘Allamah Abul A’la Muhammad bin ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri (Tuhfah Al-Ahwadzi VII/354) menjelaskan, “Artinya larangan berpaling dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sebab berpaling darinya berarti berpaling dari Al-Quran pula. Allah berfirman, ‘Apa saja yang datang dari Rasulullah, ambillah, dan apa yang dilarangnya sudahilah.’ Dia juga berfirman, ‘Dia tidak berucap berdasarkan hawa nafsunya, akan tetapi itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan.’
Ad-Darimi meriwayatkan dari Yahya bin Katsir, beliau berkata, ‘Adalah Jibril biasa turun membawa Sunnah, sebagaimana ia turun membawa Al-Quran. Demikian yang tertera dalam Ad-Durr. Al-Qari menyebutkannya dalam Al-Mirqah. Hadits ini termasuk di antara bukti dan tanda-tanda kenabian. Apa yang beliau katakana benar-benar telah terjadi. Ada seseorang yang muncul dari Punjab, salah satu wilayah India, ia menamainya diri sendiri sebagai ahli Al-Quran”.
Di negeri ini kita jumpai ada sekelompok orang yang menamai diri mereka pengkaji tafsir Al-Quran. Salah satu ajaran nylenehnya adalah mereka tidak memandang haramnya mengkonsumsi daging anjing alias segawon. Walaupun mereka memaparkan berbagai dalil dan argumen, jika diperhatikan secara lebih mendalam, akan nampak akar permasalahan yang sebenarnya, yaitu ternyata mereka tidak menginginkan hadits sebagai landasan Islam jika tidak bersesuain dengan isi kandungan Al-Quran. Mereka hanya akan menerima hadits apabila memiliki dasar pokok dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mungkin ada yang bertanya-tanya, tuduhan seperti ini hanya kedustaan semata dan mengada-ada. Penulis katakan, bahwa penulis pernah beberapa kali bertanya pada salah satu mantan anggota kelompok tersebut yang sebelum taubatnya ia sangat aktif berkecimpung di dunia mereka, dan ternyata apa yang dituduhkan di atas tidak jauh dari kebenaran. Penulis sendiri pernah menulis bantahan, setelah diminta oleh Al-Ustadz ‘Abdussalam bin Busyro bin ‘Abdul Mannan, Lc, terhadap dalih-dalih yang mereka pergunakan sebagai perisai penghalalan daging segawon. Dan ternyata setelah diteliti, pokok permasalahannya ada pada penelantaran nash-nash hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Wallahua’lam.
- Tidak mendahulukan ucapan orang lain atas ucapan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, walaupun orang tersebut ustadz, syaikh, kiai, apalagi dukun. Sebab pada dasarnya mereka pun berkewajiban mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan mentaatinya.Sangat miris sekali ketika ada orang yang disodori perkataan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam namun kemudian malah berkilah, ‘Tapi kata si A begini dan begitu…’ Sangat tidak diperkenankan membantah ucapan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan ucapan makhluk lain, siapa pun dia.Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, bahwa beliau berkata, “Dikhawatirkan kalian akan dihujani bebatuan dari langit. Aku katakan, ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda…, kalian malah berkata, ‘Abu Bakar dan ‘Umar berkata….”. Riwayat yang senada juga pernah dilontarkan Imam Ahlussunnah, Ahmad bin Hanbal –rahimahullah-.
- Tidak membuat-buat aturan baru dalam aturan agama Allah Jalla wa ‘Ala, apa pun bentuknya. Oleh karena itu orang-orang pembid’ah sudah dapat dipastikan belum merealisasikan dan mewujudkan syahadat ‘محمد رسول الله’. Dan apa yang mereka perbuat itu sangat tidak beradab pada diri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Bahkan mereka secara tidak langsung menuduh beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bertindak khianat karena masih ada hal-hal kebaikan yang tidak beliau sampaikan. Benarkah demikian? Padahal Allah sendiri telah mengatakan bahwa agama ini telah disempurnakan dan Dia telah meridhai agama ini sebagai anutan kita.
- Tidak membuat-buat hal baru yang berkaitan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, apa pun jenisnya. Perkara-perkara baru yang sering terjadi adalah acara pesta kelahiran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada setiap tahunnya, tepatnya pada setiap 12 Rabi’ Al-Awwal. Padahal jika ditelusuri, di tanggal itu pula beliau terakhir menghembusnya nafasnya Shallallahu’alaihi Wasallam. Orang yang suka merayakan perayaan seperti ini berarti belum mewujudkan konsekuensi syahadat ‘محمد رسول الله’.
- Meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak memiliki hak ketuhanan. Karenanya, beliau tidak boleh dijadikan tempat berdoa, tempat meminta, tempat memohon pertolongan, dan semacamnya, kecuali saat beliau Shallallahu’alaihi Wasallam masih hidup. Itu pun terbatas pada hal-hal yang masih dalam ruang kemampuan. Allah berfirman (QS Al-A’raf: 188), “Katakanlah, aku tidak menguasai diriku, manfaat ataupun mudharat, kecuali jika Allah menghendaki”.Dia juga berfirman (QS Al-Jinn: 21-22), “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya.’”
- Menghormati ucapannya Shallallahu’alaihi Wasallam. Artinya memuliakan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan, antara lain, tidak menaruh dan meletakkannya di tempat-tempat tak layak. Karena tindakan meletakkan kitab hadits di tempat kotor tak layak termasuk tindakan pelecehan. Tindakan lain yang teranggap tidak sopan adalah mengeraskan suara di pusaran beliau Shallallahu’alaihi Wasallam. Pada suatu saat Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab –radhiyallahu ‘anhu– mendengar dua orang datang dari Thaif yang mengangkat suara di Masjid Nabawi. Lantas beliau berkata pada mereka, “Kalaulah kalian bukan dari Thaif, tentulah sudah kupukul kalian”. Sikap ‘Umar di atas, oleh Ibnu ‘Utsaimin, diasumsikan berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla (QS Al-Hujarat: 2),
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.”
—
Penulis: Firman Hidayat Al Mawardi
Artikel Muslim.Or.Id
[serialposts]🔍 Amalan Yang Dicintai Allah, Ayat Alquran Tentang Berhijab, Cara Mendapatkan Hidayah Dari Allah, Ustadz Yazid Bin Abdul Qadir Jawas
Artikel asli: https://muslim.or.id/22481-penjelasan-hadits-rukun-islam-2.html